Rabu, 18 Januari 2012

tak pantaskah?

tak pantas berlama - lama seprti itu
hari hilang di masa kesempurnaa
gerak tertunda dalam kelezatan semata
bisa-bisa tiada cintaNya

tak pantas seperti itu..
kemana melangkah Dia kunci kesuksesanku
Kemana berjalan Dia tujuanku
kemana kubawa diri ini, Dia pemiliknya

tak pantas seperti itu
terbukalah hati siapa Dia, Ataukah hatiku hancur
selama napas tersadar, Dia selalu menunggu
selama itupula Dia selalu menjagaku

tak pantas seperti itu
bilaku mampu hidup tanpa Pemberiannya
bilaku mampu hidup tanpa penjagaanNya
namun tak akan mampu begitu
Dialah maha kuasa diatas segalanya

Dampit, 18 Septer 2011

Minggu, 01 Januari 2012

penantian di kala muda..

oleh Dede Jubaedah Dampit Clk pada 2 Januari 2012 pukul 11:54

Perubahan Anda sudah disimpan.
muda adalah keteguhan menyimak aflikasi perubahan
melingkari titik pusat koordinat di sela perjuangan
menggempar jemara imajinasi karya bukan sekedar mimpi
mendongkrak cita dalam bunga harum sepanjang mata
ialah muda
merindu damba sang cinta ilahi
penantian di kala muda menggelegar proses hasil
berbaik sangka pada tanggnya
melipu hampa ada dan tiada
penantian di kala muda bukan menjerat tangan pada harapan kilau
penantian muda harapan yang panjang
cinta mengalir suci bukan pemburuan atas dasar nama cinta
penantian di kala muda terbekam dalam ilmu
membeludak iman hati
bukan karena ingin dan dapat
tapi karena ikhlas di persimpangan penantian karenanya..
masa muda adalah penantian nyata penuh realitas
bukan sekedar menompang tangan para tua

'' Laporan Bacaan Teori Dasar Retorika”


‘’Laporan Bacaan Teori Dasar Retorika”


MAKALAH
Dipresentasikan pada tanggal 6 bulan November tahun 2011 di jurusan bahasa Indonesia semester 3
Dalam rangka melengkapi perkuliahan mata kuliah RETORIKA yang dibina oleh Dosen Witri, S.pd.

Di susun Oleh:
DedeJ ubaedah
10210411

Fakultas Pendidikan Bahasa Indonesia

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN SILIWANGI BANDUNG
2011
Teori Retorika Lisan
Salah Satu kegiatan berbahasa lisana dalam pidato. Pidato adalah kegiatan berbicara untuk menyampaikan suatu/ informasi pada orang lain secara resmi yang bersifat satu arah. Yang bertujuan untuk menyampaikan sesuatu, bukan menjelaskan sesuatu seperti ceramah.
ü  Pidato yang baik
Menurut Hendrikus ada 9 hal dalam sebuah pidato yang baik
1.      Saklik: pidato tersebut objektifitas dan unsur-unsur kebenaran
2.      Jelas: pidato tersebut isinya dapat dimengerti, jelas dan susunan kalimatnya tepat
3.      Hidup: artinya pidato tersebut terdengar hidup, caranya dengan pilihan kata yang bervariasi dan cara penyampaiannya bercerita tentang kejadian-kejadian yang relevan
4.      Memiliki tujuan: pidato yang baik harus memiliki tujuan yang dirumuskan dalam satu atau dua pikiran pokok
5.      Memiliki klimaks: pidato harus memiliki klimaks dengan menciptakan titik puncak untuk memperbesar ketegangan dan rasa ingi tahu pendengar
6.      Memilikipengulangan: dalampidatoharusadapengulanganpesan yang di rumuskanbahasa yang bebeda
7.      Berisi hal yang mengejutkan: munculnya hal-hal baru yang belum biasa untuk menimbulkan rasa ingin tahu
8.      Ada batasan: jangan menyampaikan semuanya dalam pidato, tapi sampaikan secaras ingkat dan padat
9.      Ada humor: dalam pidato perlu ada humor untuk menyegarkan pikiran pendengar

ü  Peranan Pidato
1.      Pidato seni berbicara yang dapat merubah sejarah umat manusia
2.      Menciptakan peperangan yang menimbulkan banyak pengorbanan terhadap bangsanya
3.      Dapat menciptakan perdamaian dan kesejahteraan umat manusia
4.      Mengasah keterampilan seni berbahasa lisan yang baik danb enar
5.      Menumbuhkan keberanian dan ketenangan dalam berkomunikasi di depan massa
6.      Memberikan sikaf lebih tepat dan cepat serta tidak kaku dan canggung.


ü  Persiapan pidato
Ada tiga hal yang harus dimiliki seorang pembicara yang baik tentang pengetahuan jenis psikologi masa yaitu:
1.      Masa kongrit: masa/ sekelompok orang-orang yang sudah mempunyai organisasi sebagai ikatan batin
2.      Masa Asbrak: masa/ kelompok orang-orang yang individu-individunya satu sama lain belum kenal mengenal, tidak mempunyai organisasi sebagai sebagai ikatan lahir, kesatuan idiologi sebagai ikatan batin.
3.      Masa cround: masa/ kelompok orang-orang yang mempunyai ikatan tujuan, tapi tidak saling kenal-mengenal satu sama lain. Tetapi memiliki tujuan yang sama.

Contoh langkah persiapan pidato:
a.       Meneliti masalah:  1. Menentukan maksud pidato
                               2. menganalisa pendengar dan situasi
                               3.   memilih dan menyampaikan topik
      b. Menyusun uraian: -Menyimpulkan bahan
                                         -membuat outline/ kerangka uraian
                                          -mengurutkan secara mendetail
c. mengadakan latihan:     Melatih dengan cara nyaring (boleh dengan memakai naskah di depan kaca/ dihadapan beberapa orang
8. melatih dengan masa menyaring/ tanpa melihat naskah

ü  Tujuan pidato
1.      Informatif:
Memberikan informasi kepada pendengar dengan menyampaikan yang sewajarnya tanpa di buat-buat dan memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang baru. belumdiketahuipendengar.
2.      Edukatif:
Memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan kepada pendengar sebagai ajaran dan didikan,  sehingga pendengar berkretifitas dan terampil.
3.      Dinamis serend:
Menyampaikan pesan secara berlebihan, ekstrim dan agresif, subjektif dan ada maksud terselubung.


ü  Struktur Pidato:
Pola dasar struktur pidato ada 4 bagian yang berurutan:
1.      Bagian pembukaan; bertujuan untuk menciptakan suasana yang baik bagi isi yang hendak dikemukakan agar keseluruhan pidato ini menyenangkan pendengar.
2.      Bagian isi pokok
Bagian isi pokok di bagi menjadi dua :
1. Maratio: uraian dari berbagai hal sekitar masalah pokok atau isi pokok itu sendiri
2. preposition: tema pokok dari pidato yang hendak di kemukakan.
3.      Bagian alasan (argementasi): bertujuan untuk memperkuat pendapat atau persoalan-persoalan pokok yang dikemukakan dalam pidato.
Bagian Argumentasi ini terbagi menjadi dua:
1.      Confirnatio: alasan-alasan yang dikemukakan untuk memperkuat hal-hal yang memang baik.
2.      Reputatio: alasan-alasan menyatakan atau membuktikan bahwa suatu yang buruk itu memang buruk dan merusak atau dengan kata lain alasan-alsan yang memperburuk yang sudah buruk
4.      Bagian kesimpulan: merupakan bagian akhir dalam pidato yang berfungsi untuk menutup keseluruhan dari uraian kita dalam pidato.

ü  Unsur-unsur Pidato
1.      Unsur/ komponen komunikator: subjek atau orang yang berpidato
2.      Unsur/ komponen komunike: Topikatauisi yang akan di pidatokan atau dibicarakan.
3.      Unsur/ komponen pendengar: pendengar yang mendengarkan, menyaksikan suatu kegiatan berpidato
4.      Unsur/ kompenen media komunikasi: yang ikut menunjuang terlaksananya kegiatan berpidato atau alat yang mendukung kelancaran terselenggaranya kegiatan berpidato
























Theju_Dzahabiyah: PEMBELAJARAN PENGKAJIAN PROSA FIKSI

Theju_Dzahabiyah: PEMBELAJARAN PENGKAJIAN PROSA FIKSI

PEMBELAJARAN PENGKAJIAN PROSA FIKSI

PEMBELAJARAN PENGKAJIAN PROSA FIKSI
Dengan Metode Penalaran dan Diskusi

BAB 1
Pendahuluan

1.1.Latar belakang masalah


 Secara umum, sastra merupakan karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan, yang mampu mengungkapkan aspek-aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. Sastra menurut Jacob Sumardjo (1997:3) adalah, ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, kenyakinan, dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Selain itu, menurut Wellek (dalam Mursini, 2007:22), sastra sebaiknya dibatasi sebagai seni sastra yang imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang dikemukakan dalam sebuah karya sastra bukanlah pengalaman jiwa atau peristiwa yang dibayangkan saja. Walaupun karya sastra bersifat imajinatif, sastra tentunya berangkat dari kenyataan hidup secara objektif.
Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra apabila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunan beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati pembacanya. Bentuk dan isi sastra harus saling mengisi, yaitu dapat menimbulkan kesan yang mendalam di hati para pembacanya sebagai perwujudan nilai-nilai karya seni. Demikian halnya, menurut Mursini (2007:23), sastra harus mengandung nilai estetik (keindahan seni) sehingga karya sastra memiliki daya pesona tersendiri, dengan kriteria seperti keutuhan (unity), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan fokus atau tekanan (righ emphasis).
Karya sastra mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Dari segi pendidikan, sastra merupakan wahana untuk meneruskan atau mewariskan budaya bangsa dari generasi ke generasi, berupa gagasan dan pemikiran, bahasa, pengalaman sejarah, nilai-nilai budaya, dan tradisi. Dari segi pengajaran, peminat sastra dapat mengambil manfaat, seperti ajaran moral (Mursini, 2007:26).
Dengan Metode penalaran dan Diskusi Ini maka proses pembelajaran Prosa Fiksi Akan mudah dipahami. Metode berhubungan dengan cara(bagaimana) membelajarkan sastra prosa yang tepat. Cara ini akan mntransfer pada kiat-kiat yang efektif dan efesien dalam pengajaran. Karenanya, Melalui metode yang tepat, tentu tak akan banyak memakan waktu dan menguras energy dalam proses pengajaran. Metode pengajaran sastra yang kondusif dapat disebut juga metode yang sinergis.
1.2.Rumusan Makalah
Pembelajaran Prosa Fiksi Sangat luas dan mencangkup metode yang bervariasi, tapi makalah ini hanya menyajikan pembelajaran Prosa Fiksi dengan Metode Penalaran dan Diskusi. Adapun rumusan makalah ini, sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan karya fiksi
2.      Apa yang dimaksud dengan novel dan cerita pendek (cerpen
3.      Bagaimanakah teori mengenai penulisan prosa fiksi, khususnya novel dan cerpen
4.      Metode apa yang dipakai dalam memahami prosa tersebut?
5.      Apa yang di maksud dengan metode DIskusi Dan Penalaran

1.3.Tujuan makalah
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini ialah:
1.      menjadi salah satu sumber acuan mahasiswa dalam membuat karya fiksi
2.      menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang prosa fiksi yakni novel dan cerpen
3.      Mengetahui unsure instrinsik Penulisan Cerpen dan Novel
4.      Mengetahui Metode penalaran dan diskusi sebagai Kreatifitas untuk memudahkan belajar prosa fiksi
5.      Menembah wawasan baru tentang Pemahaman metode penalaran dan Diskusi sebagai ke efektifan belajar dunia sastra

1.4.Ruang lingkup
Ruang lingkup dari pembahasan masalah dalam makalah ini ialah segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah pembelajaran pengkajian prosa fiksi meliputi Cerpen dan Novel melalui metode penalaran dan diskusi.
1.5.Manfaat makalah
Fungsi kemanfaatan dari makalah ini ialah:
a. sebagai bahan referensi untuk bahan pembelajaran bagi kami khususnya dan umumnya untuk para pembaca.
b. sebagai pembelajaran yang efesien, efektif dan pengetahuan tentang prosa fiksi
1.6.Metodologi
Penyajian pembahasan makalah ini memakai metode sebagai berikut:
a. melakukan kajian pustaka beberapa buku literatur yang membahas masalah
Prosa Fiksi ``Cerpen dan Novel``
b. melakukan browsing di internet untuk mengumpulkan data-data penting lainnya

Bab 11
Pembahasan

a.       Pengenalan Pembelajaran dan Pengkajian prosa Fikisi
dengan Metode Penalaran dan Diskusi



Ø  Pembelajaran
Istilah ‘pembelajaran’ memiliki pengertian yang sama dengan konsep ‘belajar-mengajar’. Yaitu proses yang melibatkan dua komponen utama dalam kegiatan belajar-mengajar, yakni antara guru dan siswa.
Penggunaan Istilah ‘pembelajaran’ terutama dimaksudkan untuk membedakan istilah ‘pengajaran’. Perbedaan kedua istilah ini dapat dijelaskan melalui proses morfologis sebagai berikut :
                           ajar                   ajar
                           mengajar         belajar
                           pengajar          pembelajar
                           pengajaran     pembelajaran  
Berdasarkan proses morfologis di atas, tampak jelas bahwa perbedaan mendasar antara ‘pengajaran’ dan ‘pembelajaran’ baik sebagai istilah maupun konsep terletak pada penekanan aktivitas guru dan siswa dalam proses belajar mengajar.
Pengajaran’ lebih bertumpu pada aktivitas guru sebaga pengajar, sedangkan “pembelajaran” lebih menekankan pentingnya aktivitas belajar bagi siswa selaku individu pembelajar. "Jadi bisa disimpulkan, konsep dan istilah “pembelajaran” pada hakikatnya merupakan suatu upaya yang disengaja dan direncanakan sedemikian rupa oleh pihak guru sehingga memungkinkan terciptanya suasana dan aktivitas belajar yang kondusif bagi para siswanya"
                 
Dalam konteks ini, baik guru maupun siswa harus sama-sama berperan aktif menurut fungsinya masing-masing, yaitu sebagai pengajar dan pembelajar. Adapun Dengan Metode Penalaran dan Diskusi berpungsi untuk memudahkan proses pembelajaran Prosa fiksi tersebut. Metode Diskusi, Yakni subjek didik di harapkan memberikan pandangan dan sikap ``apa`` dan bagaimana tentang sesuatu karya yang di baca dan metode penalaran bertujuan untuk memberikan rangsangan daya piker kritis, obyetif, argemuntatif terhadap karya sastra prosa fiksis.

Ø   Pengertian pengkajian.
Istilah Kajian, atan pengkajian adalah menelaah dan meneliti. Pengkajian terhadap karya fiksi berarti penelaahan, penyelidikan, atau mengkaji, menelaah, menyelidiki karya sastra tersebut..
Untuk melakukan pengkajian terhadap unsure-unsur pembentuk karya sastra khususnya fiksi, pada umumnya kegiatan ini disertai oleh kerja analisis. Istilah analisis, misalnya analisis karya fiksi, menyaran pada pengertian mengurai karya itu atas unsure-unsur pembentukannya tersebut, yaitu yang berupa unsure-unsur instrinsiknnya.
Penggunaan kata analisis itu sendiri sering sering ditafsirkan konotasi yang negative. Kesan yang tidak jarang timbul dari kata tersebut adalah kegiatan mengincang-ngincang karya sastra, memisahkan bagian-bagian dari keseluruhannya. Dalam pandangan kelompok tertentu, kerja analisis kesustraan dianggap sebagai tidak ubahnya kegiatan bedah mayat seperti yang dilakukan oleh mahasiswa kedokteran. Hal ini hanya akan menyebabkan karya yang bersangkutan menjadi tidak bermakn apa-apa, mati. Manfaat yang akan terasa dari kerja analisis itu adalah jika kita segara membaca ulang karya-karya kesustraan (novel, Cerpen) yang di analisis itu, baik karya-karya itu di analisis sendiri maupun oleh orang lain. Namun tentu saja, analisis itu haruslah analisis yang baik, teliti, kritis dan sesuai dengan hakikat karya sastra. Kita akan merasakan adanya perbedaan, menemukan sesuatu yang baruterdapat pada karya itu yang belum ditemukan atau dirasakan dalam pembacaan terdahulu, sebagai akibat kompleksitasnya karya yang bersangkutan. Kita akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema pesan, penokohan, gaya, dan hal-hal lain yang di ungkap dalam karya sastra itu.namun Demikian, adanya perbedaan penafsiran pendapat adalah suatu hal yang wajar dan biasa terjadi. Tentu saja pendapat itu perlu memiliki latar belakang argumentasi yang dapat diterima.
Heuristik dan Hermeneutik, dalam rangka memahami dan mengungkap sesuatu yang terdapat di dalam karya satra, dikenal adanya istilah Heuristik dan hermeneutic. Kedua istilah ini yang secara lengkap disebut sebagai pembacaan Heuristik dan Pembacaan Heurmenetik, biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotic, yaitu bahasa merupakan sebuah system tanda.
Kerja Heuristik merupakan pembacaan karya sastra system semiotic tingkat pertama. Berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa yang bersangkutan.Kerja Hermeneutik dilakukan dengan pemahaman keseluruhannya dengan unsure-unsurnya.
Beberapa Beberapa Model Analisis Prosa Fiksi A. Semiotik Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara terpisah. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai ahli filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut. Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bahasa Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (luxemburg, 1984:44). Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics).

Ø  Prosa Fiksi
Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text), atau wacana naratif (narrative discource). Sehingga istilah prosa atau fiksi atau teks naratif, atau wacana naratif berarti cerita rekaan (Cerkan) atau cerita khayalan.

Hal ini berarti fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan (tidak mengacu) pada kebenaran sejarah (Abrams, 1981:61). Dengan demikian, Karya fiksi merupakan karya naratif yang isinya mengacu/menyarankan pada karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga ia tak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.

Istilah fiksi sering dipergunakan dalam pertentangannya dengan realitas (sesuatu yang benar ada dan terjadi didunia nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris). Benar tidaknya, ada tidaknya, dan  dapat tidaknya,  sesuatu yang dikemukakan dalam suatu karya yang dibuktikan secara empiris, inilah antara lain, yang membedakan karya fiksi dengan karya nonfiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah bersifat imajinatif, sedang pada karya nonfiksi bersifat faktual.

Sebagai karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan, yang dituangkan secara sungguh-sungguh melalui perenungan yang intens dan bukan hanya sebagai hasil lamunan saja, tetapi penuh tanggung jawab dan kesadaran kreativitas yang diungkapkan kembali melalui sarana fiksi. Oleh karena itu fiksi dapat diartikan sebagai ‘prosa naratif’ yang bersifat imajinatif, sekaligus masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan interaksi manusia-lingkungan-dan tuhannya. (Altenbernd dan Lewis, 1966:14)

Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik (Wellek & Warren : 1956:212). Horace mengatakan haruslah “dulce et utile”, indah dan berguna.  “Membuat manusia lebih bijaksana, arif, santun, sekaligus romantis”, kata dosen saya Agus Wis.   
FIKSI pertama-tama juga menyaran, mengacu, pada prosa naratif, yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel (Abrams, 1981: 61).

Oleh karena itu, novel dan cerpen sebagai sebuah karya prosa fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur instrinsik dan ekstrinsiknya. Kesemuanya bersifat noneksistensial dan imajinatif, dari tiruan yang mirip, diimitasikan, dan atau dianalogikan dengan dunia nyata.

Sehingga terlihat dengan jelas, ada perbedaan antara kebenaran dalam dunia fiksi dengan kebenaran di dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pandangan pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan. Kebenaran karya fiksi tidak harus sesuai dengan kebenaran di dunia nyata dari segi hukum, moral, agama, dan bahkan mungkin juga  logika.

Perlu diketahui, dalam dunia kesastraan juga terdapat karya sastra yang mendasarkan diri pada FAKTA. Karya sastra yang demikian, oleh Abrams (1981:61) disebut fiksi historis (historical fiction), jika dasar penulisan ceritanya dari fakta sejarah, contoh Bendera Hitam dari Kurasan dan Tentara Islam di Tanah Galia, karya Dardji Zaidan, fiksi biografis (biographical fiction), Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, karya Cindy Adam, Kuantar Kau ke Gerbang, karya Ramadhan K.H. Tahta dan Rakyat, oleh Mochtar Lubis, fiksi  sains ( science fiction), novel yang berjudul 1984, karya George Orwell. Ketiga jenis karya tersebut.
b.      Cerpen
Cerpen merupakan karya fiksi atau cerita rekaan. Cerpen, baik pop atau sastra dimuat di majalah-majalah atau di koran-koran hanya satu terbitan. Biasanya pihak penerbit mengajukan permintaan pada pengarang, untuk menyesuaikan pada tempat dan misi media tersebut. Pembatasan lembaran naskah pun merupakan kriteria redaksi, terkadang tema dibatasi pula. Hanya media massa bernapaskan sastra saja menerima segala tema, biasanya majalah hiburan (populer) membatasi tema. Berarti dengan kata sederhana cerpen merupakan bentuk prosa yang memiliki ukuran pendek.
Cerita pendek merupakan bentuk karangan prosa dalam karya sastra, dan dapat dibaca dalam waktu singkat. Tetapi menurut Tirtawirya (1983:61) sebuah cerpen memiliki unsur lainnya yang perlu diketahui. Sebagaimana dikatakan Mursal Esten (1984:12) bahwa cerpen merupakan pengungkapan suaru kesan yang hidup dari fragmen kehidupan sehari-hari.
Menurut Sumardjo (dalam Pikiran Rakyat, 10 Desember 1989) bahwa kejadian faktual di mata cerpenis akan berubah bentuk menjadi cerita rekaan. Cerita rekaan dalam hal ini adalah cerpen. Pengarang dalam menuangkan idenya dalam cerpen itu melalui daya nalarnya, dan dengan suatu daya pengindraannya yang imajiner, termasuk gelora emosinya. Kelak pembaca diharapkan akan larut dalam cerpen tersebut, baik secara rasional atau emosional.
Mengenai ukuran pendapat Muchtar Lubis (1981:43) bahwa panjang pendeknya sebuah cerita itu sebenarnya tidak bisa ditetapkan. Yang jelas menurut Saini (1986:37) cerpen adalah cerita narasi fiktif serta relatif pendek dan hanya mengandung satu kejadian untuk satu efek bagi pembaca. Dijelaskan pula oleh Badudu (1975:53) bahwa yang dimaksud dengan cerpen, yaitu yang menjurus, yang tidak mengizinkan adalanya degresi, karena cerpen berkonsentrasi pada pusat suatu peristiwa.
Ukuran cerpen menurut Nugroho Notosusanto (dalam Tarigan, 1985:176) bahwa cerpen panjangnya sekitar 5.000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap. Tetapi menurut Lubis (1981:43) pada umumnya panjang sebuah cerita pendek itu ada antara 500 sampai 30.000 kata. Lain dengan pendapat Jassin (1961:69) bahwa cerpen adalah cerita yang pendek. Ia tidak memberi batasan ukuran seperti para ahli lainnya, ia hanya menyebutkan bahwa cerpen tak lebih hanya sebuah cerita yang pendek.
Ternyata para ahli kesusastraan memiliki pendapat berbeda mengenai batasan cerita pendek, tetapi pendapat mereka dapat disimpulkan. Dengan kata singkat cerpen merupakan karya sastra berbentuk prosa yang memiliki ukuran lebih pendek dibanding roman. Sebuah cerpen merupakan rekaman peristiwa masyarakat sehari-hari yang direka atau dibuat cerita fiksi melalui imajinasi, nalar, emosi, dan pengindraan pengarang. Cerita pendek biasanya hanya atau alur dan satu tema.




c.       Novel
Novel yang berasal dari bahasa italia novella (Bahasa Jerman: novelle) secara harfiah berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.
Kemudian istilah novella dan novelle, memiliki pengertian yang sama dengan istilah Indonesia yakni novelet (Inggris: novelette) yakni sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, juga tedak terlalu pendek.
Sementara ROMAN dalam pengertian modern berarti cerita prosa yang melukiskan pengalaman-pengalaman batin dari beberapa orang yang berhubungan satu dengan yang lain dalam suatu keadaan. (Van Leeuwen, lewat Jassin, 1961:70), Roman adalah cerita tokoh sejak dari ayunan sampai ke kubur.
Kemudian, istilah novel, cerpen (Short story), dan novelet, serta roman dicoba bedakan. Perbedaan Novel, cerpen, cerpan (novelette), dan roman.
 Perbedaan pertama dan utama antara novel, cerpen, dan novelet, dapat dilihat dari bentuk formal segi panjang-pendeknya cerita. Sebuah cerita yang panjang, katakanlah ratusan halaman, jelas tak dapat disebut sebagai cerpen, melainkan lebih tepat sebagai novel.
Cerpen, sesuai namanya, adalah cerita pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang-pendek itu belum ada kesepakatan baik diantara para ahli maupun sastrawan. Bahkan, EDGAR ALLAN POE, sastrawan ternama dari Amerika mengatakan, cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Kemudian novelet, adalah karya yang lebih pendek dari novel dan lebih panjang dari cerpen. Menurut Agus Wis, novelet yang ditulis pada media massa (Koran atau majalah) secara bersambung disebut cerita bersambung (cerbung).
Sementara perbedaan novel dengan roman, kalau novel bersifat lebih realistis, sedangkan roman bersifat puitis dan epic. Artinya, novel ditulis dengan meniru kehidupan yang lebih realis, baik dari realitas social, politik, hukum, budaya, dalam kehidupan nyata dengan tokoh yang ekstrover dan bersifat objektif. Sedangkan roman tidak berusaha menggambarkan tokoh yang lebih realis, tetapi lebih merupakan gambaran angan-angan dengan tokoh yang lebih introvert dan bersifat subjektif.
Ø  Unsur-unsur pembangun novel , seperti plot (Alur), tema, penokohan, dan latar, secara umum dapat dikatakan bersifat lebih rinci dan kompleks daripada unsur-unsur pembangun carpen.
·         PLOT. Plot atau alur cerpen pada umumnya merupakan alur tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir. Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, misalnya dari konflik yang sudah meningkat dan dibangun dengan klimaks yang bersifat tunggal pula. Sedangkan alur dalam novel, umumnya memiliki lebih dari satu plot; terdiri dari plot utama, dan subplot. Plot utama berisi konflik utama yang menjadi inti persoalan sepanjang cerita itu, sedangkan sub-subplot adalah munculnya konflik-konflik tambahan yang bersifat menopang, mempertegas, dan mengintensifkan plot utama untuk sampai ke klimaks.
·         TEMA. Karena ceritanya yang pendek, cerpen hanya berisi satu tema. Hal ini berkaitan dengan keadaan plot yang juga tunggal dan pelaku atau tokoh yang terbatas. Sebaliknya, novel pada umumnya dapat saja menawarkan lebih dari satu tema, yaitu tema utama dan tema-tema tambahan.
·         PENOKOHAN. Penokohan dari cerpen, tertama dari segi perwatakan, tidak mengungkapkan detil-detil perwatakan secara lengkap, sehingga pembaca harus mengkonstruksikan sendiri gambaran yang lebih lengkap dari perwatakan sang tokoh. Sebaliknya, tokoh-tokoh dalam novel biasanya ditampilkan dengan perwatakan yang lebih luas, disertai dengan cirri-ciri fisik maupun ciri-ciri social lainnya.
·         LATAR. Pelukisan latar cerita untuk cerpen tidak memerlukan detil-detil khusus tentang keadaan latar, misalnya yang menyangkut keadaan tempat dan social. Cerpen hanya memerlukan gambaran secara garis besarnya saja, namun secara implisit mampu memberikan gambaran latar yang dimaksud. Sebaliknya, Novel dapat saja menggambarkan keadaan latara yang lebih lengkap, detil, sehingga lebih mudah memberikan gambaran latar yang lebih konkret dan pasti.
Ø  KESIMPULAN. Dari perbedaan antara novel dan cerpen di atas, maka perbedaan yang paling menonjol dari keduanya adalah terletak pada KEPADUAN. Artinya, novel dan cerpen yang baik haruslah memenuhi kriteria kepaduan, unity. Yakni segala sesuatu yang diceritakan bersifat dan mendukung tema utama. Pencapaian sifat kepaduan novel lebih sulit dibandingkan dengan cerpen. Karena novel terdiri dari sejumlah bab yang masing-masing bab berisi cerita berbeda, tetapi merupakan hubungan sebab akibat. Tidak seperti cerpen yang telah mencapai keutuhan cerita dalam bentuknya yang pendek.



Ø  Novel di bedakan menjadi novel serius dan novel populer.
Sebutan novel populer, atau novel pop, mulai merebak sesudah suksesnya novel KARMILA dan CINTAKU DI KAMPUS BIRU pada tahun 70-an. Novel populer lebih mudah dipahami dan lebih mudah dinikmati, karena ia memang lebih mengejar selera pembaca demi lebih menitikberatkan kepentingan hiburan dan komersial dengan pasar pembaca remaja. Sehingga unsur cerita seperti plot, tema, karakter tokoh, latar biasanya bersifat stereotip, hanya itu-itu saja, dan begitu-begitu saja, dan tidak mengutamakan adanya unsur-unsur pembaharuan. Membaca novel populer bagaikan mengenali dan menemukan kembali sesuatu yang telah dikenali dan atau dimiliki sebelumnya.
Sedangkan novel serius jelas kebalikan dari novel populer Novel serius berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan menampilkan makna baru dari unsur-unsur pembangunnya. Singkatnya unsur kebaruan diutamakan.
















Bab 111
PENUTUP
a.      Kesimpulan
1.      Pengkajian prosa adalah kegiatan “menggauli” sebuah karya sastra prosa, untuk
kemudian memberi penghargaan terhadap karya sastra itu berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan objektif atas hasil analisis yang dilakukan terhadap karya prosa tersebut.
2.      Materi prosa untuk bahan pembelajaran apresiasi dapat di pi;ih buku dan data referensi.
3.      Pembelajaran Pengkajian Prosa Fiksi dimulai dengan (a) Pengenalan Dunia Prosa Fisi dilajari dulu, (b). pendiskusian macam prosa fiksi seperti: Cerpen dan Novel.
4.       (c) membimbing siswa untuk menelaah unsur-unsur prosa tersebut, dan (d) meminta berpendapat tentang pembelajaran materi pengkajian prosa fiksi tentang karya yang dibacam dengan bimbingan guru.
Jadi bisa disimpulkan, konsep dan istilah “pembelajaran” pada hakikatnya merupakan suatu upaya yang disengaja dan direncanakan sedemikian rupa oleh pihak guru sehingga memungkinkan terciptanya suasana dan aktivitas belajar yang kondusif bagi para siswanya"


















b.      Daftar Pustaka
Endraswara, Suwardi. 2005. Metode dan Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka.
Nurgiyantoro, Burhan. 1195. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Ary. Trik Menulis. 2008. Didownload Pada Minggu, 31-10-2010. Tersedia: http://pelitaku.sabda.org/tips_dan_trik_menulis_0.htm
Dalman. 2009. Diktat Keterampilan Menulis. Bandar Lampung: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Harefa, Andreas. 2002. Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Jabrohim. Anwar, Chairul dan Sayuti, Suminto A. 2001. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tim Penyusun. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). 2005.  Edesi 3. Cetakan 3. Jakarta: Balai Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sumardjo, Jakob. 2007. Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar